Kuliah, cari ilmu atau cari gelar?

Ayo? Mau cari apa? Aku sendiri bingung, mana sebenarnya yang harus di cari? Ilmu memang perlu, tapi gelar juga (katanya) prestisius. So harus gimana?

Well, kalau boleh jujur, aku sering mengejek tetanggaku yang kebetulan punya gelar tapi hampir tidak pernah kuliah. Beliau sudah 25 tahun lebih berstatus PNS, seorang guru di sebuah sekolah dasar di kampung ku. Dasarnya beliau adalah lulusan sekolah pendidikan guru atau SPG, sekolah kejuruan setingkat SMA saat ini. Dan memang untuk sekolah setingkat ini belum ada gelarnya.

Saat itu katanya, untuk menutupi kekurangan jumlah guru di pelosok, sekolah model seperti ini dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan guru yang urgen saat itu. Dan memang aku sendiri merupakan hasil didikan para guru-guru lulusan SPG ini, setidaknya sampai aku lulus SD di kampungku, seingatku semua gurunya hanya lulusan SPG atau PGA, tidak ada lulusan D2, apalagi sarjana.
Tapi yang mau kuceritakan disini bukan kisah tentang masa-masa sekolahku dengan para guru lulusan SPG itu, tapi tentang kebingunnganku, dengan dan gelar pak tetangga, sebut saja namanya pak umar bakri (nyontek punya iwan fals), dan gelar pak profesor di luar negeri!

Begini ceritanya..:D

Sejak aku memutuskan merantau setelah lulus SD, kami memang jadi jarang ketemu, tapi setiap ada kesempatan untuk pulkam alias pulang kampung, aku selalu berusaha untuk bisa bercakap-cakap dengannya, untuk mendengar kelakar2nya.

Sering sambil seumeulhap*) di panteu*) di depan rumahnya, bercerita tentang segala perubahan yang terjadi di kampung, siapa yang sudah kawin, siapa yang udah punya anak, siapa yang kerja disini dan disana, hampir semua informasi kudapatkan dari beliau.

Meski usianya jauh di atasku,yang pastinya dulunya juga guru di SD ku, tapi beliau sangat ramah, tidak pernah merasa ada jarak dengan kami yang masih muda. Sangking baikknya, beliau juga dipanggil pak RBT, karena siapapun berpapasan dengan beliau di jalan, pasti beliau menawarkan untuk di bonceng dengan motor astutinya.

Dulu aku memang memanggilnya pak umar, persis sepertinya nama aslinya, tapi belakangan, aku lebih sering memangggilnya dengan pak espede (Spd), sebuah panggilan yang sebenarnya lebih bernada ejekan, tapi beliau malah senyum-senyum saja.

Kenapa pak espede? Ya itu adalah gelar yang beliau peroleh setelah “kuliah“ beberap semester di sebuah universitas swasta. Kuliah disini, menurut beliau, hanya sabtu-minggu saja, tidak perlu selalu hadir. Absensi juga bisa di titip kawan, ujian juga begitu, asal hadir saja udah boleh, selama bayar SPP, di jamin dapat gelar sarjana. Lebih parahnya, skripsipun tidak harus ditulis sendiri, bisa bayar dan bisa ditulis oleh staff pengajar yang udah ditunjuk oleh universitas yang bersangkutan. Sidang skripsinya lebih hebat lagi, cukup datang dengan baju yang rapi, bawa makanan yang enak2 buat penguji, terus baca beberapa slide, jadi deh.. SARJANA.

Dan, sejak mendengar kisah itu, jadilah aku sering memanggil beliau „pak espede“ alias pak „sarjana pakai duit“..hehe

Sebenarnya beliau sedikit kurang senang di panggil begitu, tapi itulah kenyataannya..herannya lagi, menurut cerita beliau, banyak kawan-kawan sekelasnya yang cukup bangga dengan gelar tersebut, dimanapun gelarnya tidak  pernah lupa di tulis, bahkan untuk mereka yang suka main arisan, namanya juga harus ditulis lengkap dengan gelarnya…hehe…waham gelar kali ya..

Bagi beliau sendiri, ikut kuliah model itu hanya untuk mendapatkan gelar, dengan itu bisa cepat naik pangkat dan tidak cepat pensiun, tidak ada maksud lain2, dan beliau juga malas untuk menempel gelar di belakang namanya tersebut.

Aku memang pantas gusar dengan keberhasilan mereka mendapatkan gelar itu dengan mudahnya. Sebagai perbandingan, aku harus kuliah 7 tahun lamanya, wajib bayar SPP setiap semester, harus selalu hadir di ruang kuliah, belajar keras, ikut ujian dan sebagainya. Skripsipun harus ku tulis sendiri sampai sampai aku mau di DO karena masa penulisan skripsi sudah hampir tiga tahun. Untung ada dosen yang baik yang mau menolong aku membimbing skripsi, hingga aku bisa selesai dan mendapaikan gelar sarjana yang relatif sama dengan yang di dapatkan pak umar dan kawan2nya.
Hmmmm…..

Banyak kekecewaan yang layak di tumpahkan dengan kesenjangan model pendidikan seperti ini. Ada yang tidak pernah kuliah, tapi dapat gelar sarajana, trus masuk PNS, sogok lagi. Tapi ada juga orang yang kurang beruntung sepertiku, kuliahnya lama, banyak abis biaya dan tenanga, sampe sekarang juga tidak ada pekerjaan yang jelas, karena memang tidak punya uang untuk sogok, dan tidak punya banyak vitamin K alias koneksi atau kenalan.

Tak heran banyak jungle2 aneh bermunculan seperti yang aku sebutkan tadi; Spd diplesetin jadi sarjana pake duit, ST jadi sarjana tanggung (kalah bersaing dapat proyek terus soalnya), lebih parah justru kawa saya yang lulusa IAIN dengan gelar S.ag, diplesetin jadi sarjana angkat goni 😀 (peace!!), banyak plesetan gelar sarjana lain yang aku tau, tapi tak mau kutiliskan semuanya disini, takut ada yang tersungging 😀
Nah, kembali ke pertanyaan semula, sebenarnya kita kuliah itu untuk mendapatkan gelar atau mendapatkan ilmu sih?,

Setelah berkelana ke berbagai penjuru dunia (lewat internet), Jawaban akhirnya kutemukan di belahan bumi lain di dunia, tepatnya di negeri Belanda. Disini aku berkelan dengan seorang profesor hukum di sebuah unversitas provinsi Limburg. Beliau adalah guru besar, mantan dekan dan pernah menduduki beberapa kursi panas di universitas ini. Saat aku berkenalan dengannya, beliau sudah mau pensiun. Dari kartu nama yang di berikan, aku lihat gelarnya cukup banyak di belakang namanya yang hanya 3 kata singkat„Jan van deuk“ (bukan nama sebenarnya), sehingga saat berjabat tangan dan berkenalan, langsung saja aku panggil Professor van Deuk.

Tapi apa responnya? Beliau langsung bilang „call me Jan, that is my name“, aku kaget, dan terdiam. Selanjutnya beliau bercerita bahwa kebanyakan professor di Belanda kurang senang di panggil professor, tapi cukup nama depannya, karena menurut mereka, gelar itu bukan nama, tapi memang sebuah gelar, so untuk apa harus menyebut gelar kalau mau memanggil nama? Di surat2 biasa yang kurang resmi aku juga lihat mereka hanya menulis nama depan, paling2 plus nama keluarga, sedangkan gelar lengkap hanya di pakai di surat2 yang benar2 resmi….hmmm, nah, gimana dengan profesor profesor di kampungku?

Di kesempatan lain, ketika aku berkunjung ke rumahnya, aku bertanya, kenapa mereka malas di sebutkan gelar? Jan justru bertanya balik ke aku, „kenapa harus pakai gelar? Apa kamu kuliah untuk dapat gelar?, kalau itu maunya kamu, tinggal tulis aja gelar di belakang namamu, sesukamu..toh orang lain juga tidak akan tau“ jawabnya sambil senyum tapi bikin hatiku ketar ketir.

Ketika dia membuatkan kopi kepadaku, dia menyambung, “Seharusnya kita kuliah untuk mendapatkan ilmu, dan dengan ilmu itu kita menolong orang, berbuat baik ke orang lain, memberi manfaat ke diri sendiri dan orang lain, bukan kuliah untuk gelar, apalagi untuk gaya-gayaan, karena memang percuma saja kita punya gelar panjang lebar, tapi tidak bisa apa-apa?“

Dan ketika dia kembali mengantarku pulang, dia kembali menyambung “ataupun jika kita memang benar2 kuliah, pintar dan memang layak menyandang gelar tersebut tapi apa tidak sebaiknya merendah? Saya sendiri malu dengan avecinna yang sangat banyak ilmunya tapi tidak pernah punya gelar apa2“ tutupnya!

Sekarang, aku justru bingung, haruskah pak umar bakri terus2an kupanggil pak espede, ikut gaya dosen2ku di kampus dulu yang cukup bangga dengan gelar panjang lebarnya? atau mendengar nasehat profesor tua yang baru ku kenal yesterday afternoon?

hmmmm

Berlin
031011

Makasih untuk mas agung, hasil chat nya jadi inspirasi, hehe
cerita tentang mbah sarjilah supardjan sastrowardodjo kapan2 ku tulis lagi 😀

9 thoughts on “Kuliah, cari ilmu atau cari gelar?

  1. hahaha, awas z klo S.Si diplesetin jadi sarjana sinting *walau sebenarnya sedikit sinting sih bermain dengan ilmu murni terus 😀

    Setuju dengan Prof. Jan, Ilmu yang bermanfaat itu lebih penting dr pada title sepanjang sungai nil.
    Tanpa title setingak S.T (red: Es teler) pun, jika ilmu itu bermanfaat why not, tapi jaman sekarng, title menjadi tolak ukur seseorang dalam melamar kerja. S1 z sekarg gak bisa lagi jd dosen, kudu S2 dl, mau gak mau kan kejar title lagi, Tapi yang namanya manusia sebgai khalifah, tentunya lanjut kul itu harus diniatin untuk mencari ilmu demi kemaslahatn diri, keluarga, dan umat,,,

    Huhukhuku sorry panjang coment na 😛 xixixi

    • hehehe…saya sengaja gk tulis sarjana sinting, takutnya ada yang ngambek (kayak di bilang jak u kampus lam blang) tapi andanya sudah mengaku….hehhe..
      enyway..setuju2 aja dgn komen2nya 😀

  2. kuliah ya buat cari gelar lah, karena ilmu kan bisa didapat dimana saja (gak mesti kuliah).
    buat para sarjana pake duit, pertanyaan “kuliah itu untuk apa?” tentu tidak applicable, mereka kan tidak kuliah, cuma beli ijazah hihi

Leave a comment