Ikan Teri, Labi-labi dan William Shakespeare

3 Tahun sudah saya tidak merasakan goyangan labi-labi, Alhamdulillah, selesai di wisuda tahun 2005 lalu, dengan celengan yang telah saya tabung sejak beberapa tahun sebelumnya, juga hasil kerja dengan EN GI O pasca tsunami, aku berhasil membeli sebuah kereta buntut kedua tangan (secondhand maksudnya-ed). Dan sejak saat itu, kemana2 aku selalu di temani si item, gitulah sang sepeda motor saya namakan…kami berdua bak sejiwa dua raga (ingat orang jualan ikan, 1 jiwa dan 2 raga di belakangnya… :)), ) dimana aku berada , disitu ada dia, begitu juga sebaliknya, disitu ada dia, dimana aku berada (salah ya cara baliknya??)..:D

Setelah menempuh beberapa kota di Aceh (caelaahhh), termasuk mengelilingi pulau weh, hingga menuruni dakian cet abeuk di sabang yang terkenal terjal itu, aku terpaksa melepaskan kepergian si item ke tangan orang, yah, selain butuh dana, si item juga sudah mulai melepuh dihajar usia dan akhirnya, bulan lalu, STNK dan bukunya berpindah tangan, sedang aku mendapatkan beberapa lembar rupiah, hasil jerih cintaku pada si item…

hmm…goodbye my lovely item…

Sejak si item pergi, aku laksamana raja di laot..eh salah…laksana orang yang kehilangan kaki, tak tau harus melangkah kemana, tau tujuan tapi gak ada kendaraan, jadinya hari-hari ku berjalan di tempat, alias cuma mutar2 di rumah, kalau kemana2 harus jalan kaki lagi, persis saat aku SMA dan Kuliah dulu, dimana sehari aku harus jalan sampe 5 KM, pecaya deh), alternatif laein ya DAMRI, atau Labi-labi (Jujur, aku masih pingin naek robur ijo yg disupiri pak kumis-sayang, si robur juga udah meninggalkan kita saat tsunami)

Minggu lalu, saat aku diminta pulkam ama pacar ayahku (mak lon hai) karena ada sedikit keperluan keluarga, aku terpaksa numpang aama kawan, yang kebetulan juga pulkam, dan juga kebetulan melewati kampoengku yang terletak dikaki seulawah itu, kali ini dapat gratissss.

hmmm….

3 hari di kampong, aku harus kembali ke BNA, dan sebenarnya, disinilah cerita dimulai…

Setelah baju dan beberapa perkakas kantor aku ranselkan, aku bergerak melangkah keluar rumah dimana aku dibesarkan, setelah berpamitan dan mendapat kecupan hangat dari sang pacar (sang ayah…mak lon), aku bergerah ke arah jalan raya, rasanya berat (tasnya maksudnya), maklum, biasanya langsung hidupin si item en tancap gas, tapi kali ini, giliran taft-ku(tapak) yang kupaksa berjalan, walau tak begitu jauh, tapi ya lumayan.

Dibawah pohon Asam Jawa itu aku berhenti, disamping jalan, sebuah kursi dari kayu dipakukan ke pohon asam, aku merapatkan pantatku ke kursi itu, sambil menunggu labi-labi Arah Banda Aceh lewat, untuk membawaku kembali ke kota, kota sejuta impiah (walaaahhh)..

Disana, sejak dari SMA, aku selalu menunggu labi-labi, dan kini, sampai saat ini, pemandangannya tetap sama, mungkin pohon Asam jawa yang kini telah menjadi saksi, saksi kehidupan yang terus mengalir bagai angin yang bersiul mesra dengan dedaunan, saksi betapa banyak manusia menghabiskan waktu di bawah dedaunannya yang kecil, hanya untuk satu tujuan, MENUNGGU LABI-LABI DATANG… 🙂

Selang 15 menit, sebuah mobil buatan jepang pun mendekat, dari depan jelas terpampang sebuah tulisan “Banda Aceh-Seulimeum PP”, YES!!!, ini dia tunggangan yang aku tunggu, dia pun berhenti tanpa diberi aba-aba, sepertinya sudah mengenal kalo aku calon penumpangnya…

Beberapa orang penumpang ada didalam, beberapa orang paruh baya, laki dan perempuan, serta seorang anak kecil dalam dekapan bundanya…(uenaknya di dekap sang bunda…hihi). Sang Kinet mempersilakan, aku melangkah kedalam, melangkah ke sudut kiri dalam, duduk dan diam, kuperhatikan wajah satu persatu, sambil tersenyum, namun tak ada yang kukenal….wallahu A’lam

Aroma Khas labi-labi mulai menusuk hidungku yang mancung kedalam, ya..bau ikan teri atawa eungkot kareng.. hmmm…buat kami passenger, bau ini udah cukup di maklumi, karena selain ngangkut penumpang, labi2 juga mengangkut pedagang, termasuk pedagang ikat teri, walhasil, ada labi-labi, ada bau ikan teri…so, mau di komentari apa lagi? bukan labi-labi kalo gak bau ikan teri. itulah fatwa yang diterima umum tanpa kecuali…

Sambil mecoba membuat Aroma teri ini used to dengan hidungku, aku membukan jendela ransel yang kecil, ngambil sebuah mini story yang sudah kupersiapkan untuk perjalanan ini, kulihat sekeliling, tak ada yaang membaca, memang, membaca bukan (belum mungkin lebih tepat yah) budaya kami orang Aceh, makanya, saat aku mulai membuka si buku kecil, semua orang melihat kearahku, takjub? atau malah aneh? aneh kurasa, tapi cuek aja, aku tetap pingin membaca, yang laen biar tidur aja.

Ingat cerita yang ini, jadi ingat cerita waktu di negeri Tgk puteh alias Snouk Hogronje, disana, kalau orang berpergian (umumnya pakai train), yang dibawa selain belanjaan, ya bacaan, jadinya begitu duduk di train, semua pada sibuk membaca, sedang buat kita……(jawab ndiri), pernah suatu hari, kami ada trip dengan beberapa kawan indonesia dan orang lokal, malamnya, semua perbekalan udah kami siapkan, hingga larut malam, saat kawan2 bule pada beranjak tidur, kami orang indo masih santai bergadang, hingga sebuah protes dari Hermans yang aseli belanda melayang, “kalian orang indonesia apa gk tidur? besok kan kita mau jalan?” dengan santainya kawan saya menjawab, “kan tidurnya bisa besok dalam train”. hah?….

Yah, dua budaya yang berbeda susah untuk di satukan, buat kita; mobil, pesawat, kereta api. boat/kapal laut, merupakan alat transportasi yang juga berfungsi sebagai tempat tidur, sedang buat mereka (org barat umumnya) menjadikan moda transportasi itu sebagai tempat untuk membaca, hom lah…

kembali ke cerita kita, dalam labi-labi tadi, aku membuka sebuah karya Shakespear “a midsummer night’s dream”, sebuah mini book, cuma beberapa halaman yang masih dalam bahasa aslinya, inggris, yang berceita tentang…..hmmm…..

Darussalam
February 3 2009

versi cerita lama yang kembali dituliskan

One thought on “Ikan Teri, Labi-labi dan William Shakespeare

Leave a reply to Dina Christy Saptania Cancel reply