Dentist made in Germany

“umurku baru 6 tahun ketika orang tuaku membawaku ke dokter gigi di sebuah puskesmas dekat pasar seulimum, ya, salah satu gigiku saat itu sudah goyang dan harus di cabut. kami datang kesana pakai sepeda motor buntut warna merah yang kini sudah pensiun, honda onta, begitu sering aku menyebutnya. Di ruang dokter gigi, aku di suntik, terasa dingin dan sekejap kemudian, aku sudah ompong. Saat itu aku heran, kok berani ya dia main suntik, trus bikin orang ompong? siapa sih dokter gigi?!, setelah kejadian itu, aku tidak berani lagi ke dokter gigi, takut sama suntik, dan gigi2 selanjutnya aku cabut sendiri pakai benang, cara tradisional yang diajarin nenekku!”

Sekitar 20 tahun kemudian!
Jam 9.30 tadi, aku sudah berdiri di depan sebuah klinik gigi di jalan hansaring, termin (janji bertemu atau appointment) dengan dokter sudah kubuat kemarin sore untuk jam 10, namun aku diminta datang lebih awal untuk mengisi beberapa dokumen, karena memang inilah kunjunganku yang pertama dengan dokter sejak aku berada di eropa.

Pintu klinik itu kubuka dan kehangatan ruangan membuatku nyamam luar biasa, maklum di luar tadi suhunya hanya 13Ā°c. Tepat di depan pintu ada meja resepsionis dengan dua dara sedang sibuk melayani mengunjung, tidak terlalu rame memang, di antrian hanya ada seorang orang tua dan dibelakangnya berdirilah aku, sedangkan di kursi ruang tunggu, yang juga berada di ruang yang sama hanya ada 2 orang yang sedang menunggu giliran giginya di preteli. hehe

ketika seorang resepsionis sedang sibuk melayani nenek di depanku, kawannya memintaku untuk maju kedepannya “bitte schon” sebutnya mempersilakan…aku hanya berjalan 3 langkah dan berdirilah di depan cewek yang tingginya sekitar 180 dan langsing itu :D. aku menyebutkan namaku dan menyerahkan dokumen asuransiku serta mencoba menjelaskan kalau sebelumnya aku telah membuat termin di klinik itu, sambil mendengarkan dia mengecek namaku di komputer. selanjutnya dia memintaku mengisi beberapa lembar pertanyaan dan pernyaataan. aku ambil lembaran2 itu dan menuju ke kersi tunggu yang ada mejanya untuk mengis lebaran2 itu. beberapa pertanyaan dalam bahasa jerman yang tak ku mengerti ku tinggalkan saja, sedangkan yang aku ngerti maksudnya langsung saja ku isi. setelah selesai dan lengkap dengan 2 tanda tangan, aku kembali ke meja respsionis tadi, dan menyerahkan lembaran tadi sambil menyebutkan kalau tidak semua kata2 (semuannya nama2 penyakit dalam bahasa jerman) aku mengerti, sehingga ku biarkan kosong. dia menjeleskan sekali lagi satu persatu dan membantu menyontengnya. setelah semuanya terisi. dia menyerahkan selembar kopian kepadaku dan kembali memintaku untuk menunggu di kursi.

Aku terduduk sepi sambil membaca dengan lebih detil form yang telah kuisi tadi. beberapa kata baru yang tak kumengerti ku coba lihat di kamus yang ada di hp jadulku. dan saat belum smua lembaran itu habis kubaca, seorang gadis manis berbaju putih keluar dari ruangan dan memanggil2 namaku dengan ejaan yang salah. dia mengulang beberap kali sambil melihat ke pasien yang lain, sama sekali tidak ke arahku. aku hanya tersenyum, bangkit dan mendekat, mungkin itu saya, tapi anda kurang tepat menyebutkan namanya, aku mencoba menjelaskan. Dia meminta maaf dan mengajakku ke ruang yang ada di belakang, aku hanya membuntutinya.

sambil berjalan, sekali lagi aku melihat jam di tangan, tepat jam 10, seperti termin yang kuminta kemarin. aku terus berjalan mengikutinya, dan aku kaget, ternyata di belakang cukup banyak ruangan praktiknya. untuk masukpun di perlukan kartu akses, seperti masuk kamar hotel saja. dia mempersilakanku untuk masuk duluan dan mengatakan kalau ruang kliniknya di pintu kedua.
Di depan pintu yang di maksud, aku hanya berdiri, menunggu pintu di bukakan (sok kali saya ya,….hahaha). seorang perempuan tingggi besar menyambutku, kami bersalaman dan menyebutkan nama masing2. dia sekali lagi menanyakan bagaimana namaku sebenarnya, karena katanya berkali2 dia mencoba mencari namaku di komputer ruang kliniknya, tapi gk ketemu. aku berdiri di sampingnya dan melihat ia mengetik namaku, jelas gk ketemu, hurufnya terbalik, hehe. begitu juga si cewek tadi, salah menyebutkan nama, kerena memang dari awalnya hurufnya ada yang terbalik. hehe

Setelah urusan nama selesai, aku di minta berbaring di kursi dokter gigi, mirip dengan kursi2 yang pernah kulihat sebelumnya di negaraku, tapi harus aku akui, ini lebih bersih dan rapi. alat2 yang di pajang disitu nampaknya juga masih baru.

Aku berbaring di situ, dan si perawat tadi memasangkan celemek kecil di bahuku. selanjunya gilaran dokter yang mendekat dan menanyakan keluhanku. aku memintanya untuk ngomong dalam bahasa inggris saja, karena bahasa jermanku masih “like a goat walking on the stones” alias lagee kameng jak lam batee…hehe
dia OK OK saja, dan kali ini komunikasi kami lebih lancar. aku menjelaskan masalahku dan selanjutnya dia minta izin untuk memeriksanya.

kubuka mulutku, lampu di atas kepalaku di dekatkan dan…selanjutnya aku pasrah saja mau diapakan. dia memeriksanya satu persatu, setiap gigi yang di periksa dia sebutkan keadaannya dan si perawat tadi menuliskan di komputer, tidak begitu banyak masalah, begitu mungkin kesimpulannya.

Selesai memeriksa, dia kembali mengajakku berbicara dan menjelaskan keadaan gigiku satu persatu, dan dari si dokter ini aku baru tahu kalau ada salah satu gigiku yang sudah sebagiannya copot, dia bertanya, apa aku pernah menggigit sesuatu yang keras sehingga bisa rusak seperti itu? aku hanya menggeleng, karena baru kali ini aku tahu kalo gigi ini rusak. karena seingatku hanya waktu kecil saja aku sering makan “ruti bintang dan kueh boh katok” yang terkenal keras itu, selajutnya tidak pernah.

Selesai memberikan penjelasan tentang keadaan gigiku, dia mejelaskan lagi secara detail tentang rencananya, mau dia apakan, bagaimana dan kapan, untuk gigiku, sambil meminta persetujuannku. aku mengangguk dan berkata setuju saja.

kali ini katanya gigiku hanya akan dibersihkan, minggu depan aku harus kembali bertemu dengannya untuk treatment yang lain. sekali lagi aku hanya mengangguk. OK OK..
Aku kembali terbaring, lampu2 itu kembali di dekatkan, kini keduanya sibuk mengutak-ngatik gigiku, dan aku pasrah saja. yang terdengar hanya bunyi section, tanpa ada rasa sakit.

“fertig”, katanya beberapa menit kemudian, aku kembali bangkit, dan mengambil tas ku. dia menyerahkan sebuah obat kumur dan selanjtnya aku berdiri lagi di depan samping mejanya untuk merencanakan jam termin selanjutnya.

sesudah kami deal dengan waktunya, aku pamit dan kembali berjalan sendiri ke meja resepsionis. di ruang tunggu sana rupanya pasien bertambah ramai. aku langsung saja ke meja dan menjelaskan kalau aku sudah selesai bertemu dengan dokternya. si resepsionis menyodorkan 2 lebar kertas yang tak sempat kubaca seluruhnya dan memintaku untuk tanda tangan. dari judulnya aku lihat itu untuk klaim mereka ke asuransiku.
selesai tanda tangan, aku serahkan lagi ke dia dan dia kembali menyerahkan dokumen asuransi yang kuserahkan pagi tadi. Das ist alles? tanyaku, ja, das ist alles, auf weidersehen jawabnya. Aku menjawabnya dan aku pun berlalu. TANPA MEMBAYAR SE SEN PUN.

jam masih di angka 10.30 ketika aku keluar dari klinik itu, aku bingung harus kemana, mending ke pustaka terdekat saja, ke CDC, disana aku bisa tulis pengalaman yang baru saja aku alami.

ya, sekarang jam 11.40 dan aku telah selesai menulis kisah ini.

moersalin

10 thoughts on “Dentist made in Germany

    • hehe…justru dsni saya mau tepis binis dikit JKA, secara umum, ide JKA itu cukup bagus, bahkan luas biasa, cuma “bapak2” kita lupa untuk antisipasi “moral hazard” dengan co-payment dan sebagaianya….jadinya Rumah sakit selalu penuh dan pasien padahal tidak benar2 sakit (ingat kasus kacamata kan?, ini salah satu contoh moral hazart”)….(meunyo meumang bek baca manteng…hahaha)

      • wah wah… ada benar dan ada salahnya juga bang. mungkin kasus kacamata itu adalah salah satu bentuk kecolongan pihak RS itu sendiri yang tidak tahu manipulasi yang dilakukan oleh (ngga perlu disebut namanya). sebenarnya di rumah sakit itu sendiri ada peraturan pasien mana yang perlu di rawat inap dan pasien mana yang ngga perlu dirawat. selama ini saya melihat di RSUZA itu sudah berlaku, hanya saja kebanyakan masyarakat karena gratis merasa sakit semua dan ketika diminta untuk pulang malah marah-marah ngga jelas.

      • Perhaps, tapi saya melihatnya justru sebagai sebuah ke-alpaan saat JKA itu di perkenalkan dan di implementasikan. so, instead of saying as sebuah kecolongan, menurut saya ini adalah “lubang di kain sari india dari benang sutra” yang sampai saat ini belum di tutupi.
        To be honest, saya cukup bangga dan senang dengan JKA, and I think it as the best health care system in South east Asia, sayangnya cuma sedikit celah yg tidak di perbaiki, yaitu mencegah moral hazard.
        pasien minta dirawat tanpa indikasi yg jelas kerena merasa tidak harus membayar ke RS adalah contoh moral hazard šŸ˜€
        kiban bu dokter? šŸ˜€

Leave a comment